Bagi saya mengisolasi diri bukan neraka. Ada tempat yang baik. Seperti resor. Di bagian belakang kantor Radar Semarang. Ada kolam renangnya. Terpisah dengan bangunan induk yang dijadikan tempat kerja karyawan. Aman untuk tidak mengenakan masker.
Meski tempatnya enak, jangan membayangkan nyaman. Namanya mengisolasi diri, tidak boleh bertemu orang. Inilah yang menyiksa. Saya menerima itu. Demi kesehatan. Demi saya dan orang lain.
Suatu hari seorang karyawan mendamprat. Tanggalnya 6 April 2020. Persis di hari ketika seluruh karyawan menerima bonus. Termasuk karyawan tersebut. Gara-garanya dia ingin bicara. Dengan ngopi berdua. Saya tidak menyanggupi. Kondisi tidak memungkinkan. Dokter menyarankan tidak boleh bertemu orang. Kecuali kebutuhannya sangat penting. Itu pun harus menjaga jarak 1,5 – 2 meter. Mengenakan masker. Tidak boleh berhadapan muka. Karyawan tersebut marah. ”Pimpinan atau bos,” katanya lewat grup WA.
Biasanya saya selalu berada di tengah karyawan. Bergerak ke mana-mana. Setiap hari. Dari satu kantor ke kantor lain. Kantor utama di Kudus (sebagai direktur), Semarang (direktur), dan Surabaya (wakil direktur JPR). Radar Kudus punya lima kantor dan Radar Semarang tiga. Karyawan tersebar di 12 kabupaten/kota di Jawa Tengah.
Sebetulnya ada keinginan untuk mengisolasi diri di rumah. Awalnya saya berpikir lebih enak dekat keluarga meski tetap harus menjaga jarak. Pertimbangan itu saya tepis sendiri. Kalau positif korona (baca tulisan sebelumnya, seri 1- 5) justru membahayakan anak-anak. Lagi pula ada menantu sedang hamil.
Manajer Keuangan Radar Semarang Indah Fajarwati menyarankan agar saya tetap di Semarang. Dekat dengan karyawan. Kalau pulang ke Sidoarjo sangat berisiko. Naik pesawat sekalipun akan bertemu banyak orang. Menggunakan mobil harus menyopir sendiri. Tidak boleh ditemani orang lain. ”Kalau capek, kondisi bisa drop. Itu gampang dikalahkan virus,” ujarnya. Saran ini dibenarkan Pemimpin Redaksi Radar Semarang Arif Riyanto.
Pagi itu Indah langsung mengutus staf untuk membelikan beberapa penangkal. Ada obat yang khusus melindungi tubuh dari serangan virus. Mereknya tidak saya sebut di sini. Ada multivitamin yang di dalamnya terdapat vitamin C, E, dan D. Vitamin itu disebut-sebut bisa menangkal Covid-19. Ada juga curcuma, ekstrak temu lawak. Dengan bekal itu, saya mantap untuk mengisolasi diri.
Alhamdulillah, anak-anak bisa menerima keputusan saya mengisolasi diri di Semarang. Anak sulung saya saja yang agak mengkhawatirkan. ”Kalau makan bagaimana. Kan, tidak boleh berdekatan dengan orang lain,” katanya. Dengan guyonan saya katakan, ”Dilempar dari seberang kolam renang kan bisa.” Mereka juga berusaha mencari obat-obat penangkal virus. Tapi semua sudah hilang di pasaran.
Selama isolasi justru karyawan kecil nyali. Mereka berlomba mengirimi makanan. Ada yang membelikan bubur, mengirimi soto, menyediai gethuk, memberi jambu, memesankan kerang, membawakan salad, dan sebagainya. Makanan itu ditaruh di depan kamar. Seperti sarapannnya tamu hotel kelas melati.
Deka, disainer, suatu siang mengetuk kamar. Dia membawa tiga jambu biji merah. Banyak mengandung vitamin C dan mendongkrak trombosit. Seumur hidup baru kali itu dia memberi sesuatu kepada saya. Di saat yang lain, Antok yang sehari-hari membersihkan kantor, membawakan gethuk. Jauh dari Demak. Saya berterima kasih.
Indah Fajarwati paling sering mengirimi sarapan. Makan malam juga. Menunya berganti-ganti. ”Lho Bapak harus sehat terus,” katanya. Pagi itu dia mengirimi bubur dan salad buah. Sudah saya larang. ”Kalau diransum setiap hari saya malah jadi orang sakit beneran.” Dia tidak peduli. Malah suaminya, Bayu Ariawan ikut-ikutan. Dia mengirimi capcay goreng.
Di pengasingan itu, soal makan malah seperti di surga. Tidak diminta saja berdatangan. Suatu saat saya melempar iseng. Mengunggah foto segelas wedang jahe. Saya kasih caption. ”Kepingin jahe panas, seperti Pak Arif malam-malam setelah mengantar saya ke rumah sakit.”
Saat itu juga Ida Fadlihah, wartawan, cuz gaspol. Membeli wedang jahe. ”Tadi begitu melihat keinginan Pak Bae minum wedang jahe sereh saya langsung beli jadi. Saking senengnya kepingin ngasih Bapak minum yang walaupun tak seberapa,” katanya lewat WA.
Sejak korona mewabah, jahe, temu lawak, kunir, sereh, serta teman-temannya menjadi rempah yang mahal. Saya sudah membeli sejak sebelum menjadi orang dalam pemantauan (ODP). Seperempat kilogram jahe hanya Rp 5 ribu. Minggu lalu membeli lagi sudah menjadi Rp 20 ribu alias Rp 80 ribu sekilogram. Malah jeruk lemon Rp 25 ribu sebiji.
Orang latah. Mereka beli apa saja dengan harga berapa saja asal bisa menangkal virus korona. Barang menjadi langka. Para spekulan memanfaatkan. Saya terpengaruh juga. Menyetok jahe, sereh, serta gula batu. Gula putih dan bahan kebutuhan pokok lainnya ikut-ikutan melambung.
Bagi saya, makan sebenarnya tidak masalah. Saya pemakan segala. Tidak biasa dilayani. Yang tidak bisa hanya dua. Sambal dan terong. Belakangan saya sudah membatasi makanan enak. Untuk menghindari kolesterol, asam urat, dan gula.
Hari pertama isolasi saya membekali diri dengan dua kilogram kentang, satu kilogram wortel, dan dua kilogram buah naga. Itu sudah cukup untuk kebutuhan seminggu di pengasingan. Simpel. Dengan bekal itu ditambah pasokan teman-teman, nyaris saya tidak makan di luar. Kecuali sekali selama isolasi mandiri.
Makan dan obat-obatan saja belum cukup untuk mempertahankan daya tahan tubuh. Pikiran harus tenang. Selama 14 hari penuh. Tidak boleh terganggu. Agar kondisi tidak drop. Bersambung besok (hq@jawapos.co.id)
(ks/top/top/JPR)
"ada" - Google Berita
April 11, 2020 at 07:08AM
https://ift.tt/3eclwga
Ada Saja Orang yang Mengirimi Makanan - Jawa Pos
"ada" - Google Berita
https://ift.tt/2LMx7oW
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ada Saja Orang yang Mengirimi Makanan - Jawa Pos"
Post a Comment