Liputan6.com, Jakarta Dari lantai basement terdengar musik bernuansa tradisional sudah terdengar cukup jelas. Sepertinya ini adalah musik pengiring tari tradisional. Begitu naik ke lantai dasar Museum Nasional, makin jelas terdengar musiknya dan suara instruktur atau pelatih tari.
Benar saja begitu saya menjejakkan kaki di lantai dasar museum yang berlokasi di kawasan Jakarta Pusat itu, banyak orang sedang menari dengan arahan seorang wanita yang berada di atas panggung.
Dengan mic kecil yang disangkutkan di atas kepalanya, ia memberi instruksi kepada semua siswa di ruangan tersebut. Dengan lincah dan telaten, ia melakukan gerakan tari sekaligus memberi penjelasan gerakan apa saja yang harus dilakukan para siswanya.
Siswanya ternyata cukup banyak dan ruangan yang cukup besar itu hampir dipenuhi para siswa tari tradisional yang digagas oleh Belantara Budaya Indonesia (BBI) itu. Siswanya pun beragam. Mulai dari anak-anak, remaja sampai orang dewasa dan mereka semua perempuan.
Sementara di sudut ruangan ada beberapa orang yang duduk di bangku atau duduk lesehan di lantai. Sepertinya sebagian besar adalah orangtua para siswa tari yang masih anak-anak.
Saat saya mengamati mereka latihan, seorang wanita yang sepertinya salah seorang pengurus BBI menghampiri saya dan memperkenalkan saya dengan Diah Kusumawardani, founder yayasan BBI.
"Ini sudah tahun kelima kita buka kelas menari di Museum Nasional. Tapi lebih dulu di Museum Kebangkitan Nasional, di sana sudah masuk tahun keenam. Kita ada 14 tempat latihan yang ada di beberapa daerah. Tempat latihan memang di tempat umum, antara museum dan mal, terus hampir semua waktu latihannya di hari Sabtu, kecuali di beberapa daerah ada yang hari Minggu atau Sabtu sore," terang Diah pada Liputan6.com, Sabtu, 11 Januari 2020.
Kata wanita lulusan S2 Arkelologi dari Universitas Indonesia ini, ia sengaja membuat kelas tari di museum karena ingin melestarikan museum, selain seni tari tradisional, agar pengunjungnya makin banyak sekaligus melestarikan budaya. Ditambah lagi sebagai lulusan Arkeologi, Dyah sudah sangat akrab dengan museum.
Tampil di Istana Negara dan Luar Negeri
"Kalau bikin di mal, supaya bisa lebih banyak menarik perhatian, terutama anak muda karena nggak cukup kalau hanya di museum. Itu juga untuk membuat kesenian terutama tari tradisonal terasa lebih modern jadi nggak terkesan kuno," tutur ibu dua anak ini.
Sesekali, Dyah juga ikut membantu pengajar dalam membimbing murid-muridnya. Dua orang putrinya juga ikut belajar menari.
"Total murid kita ada sekitar 2158 siswa, dan semua belajar tanpa dipungut biaya. Siswa cukup bawa kain dan selendang, yang lain kita sediakan termasuk kalau mereka manggung. Kalau di sini peserta yang terdaftar ada sekitar 600 orang, tapi yang datang tiap Sabtu sekitar 200-an, paling sedikit 150-an yang datang. Hari ini cukup banyak, ada 200-an siswa yang datang," ucap Dyah.
Tak lama kemudian, sesi latihan berhenti sejenak untuk beristirahat selama beberapa menit. "Sesi pertama latihan biasanya kita ajarkan materi tarian baru. Setelah istirahat, di sesi kedua kita mengulang pelajaran di minggu sebelumnya supaya lebih lancar dan terbiasa," kata wanita yang juga bekerja di dunia jurnalistik ini.
Latihan menari kembali dimulai. Para siswa mengikuti arahan dari pengajar mereka dengan semangat dan antusias.
"Pengajarnya nama Nindy, dia dokter tapi suka menari dan jadi salah satu pengajar kita,” ujar Dyah.“Jangan lupa senyum ya," ucap Nindy dengan saat memberi instruksi dari atas panggung.
Di sesi kedua ini, Nindy mengajak dua orang siswa untuk mendampinginya di atas panggung. "Biasanya yang tampil siswa senior, supaya mereka lebih percaya diri dan terbiasa tampil di panggung. Selama ini sudah banyak siswa kita yang tampil di berbagai acara di dalam sampai di luar negeri seperti di New York Fashion Week. Siswa kita juga sudah beberapa tampil di Istana Negara," ungkap Dyah.
Gratis demi Melestarikan Budaya
Tentu ada alasan tersendiri kenapa BBI mengadakan latihan tari gratis bagi masyarakat umum. "Tujuan didirikan yayasan BBI ini buat melesatarikan budaya kita, terutama lewat tari tradisional. Tapi masalahnya untuk kebutuhan primer saja masyarakat kita masih banyak yang kekurangan. Makanya kita menyediakan latihan tari gratis supaya mengajak orang banyak, terutama generasi muda buat belajar tari tradisional supaya kita nggak punah,”"tutur Dyah.
Tanpa terasa sekitar pukul 12.15 siang, pelajaran menari yang dimulai sejak pukul 10 pagi di hari itu sudah selesai. Nindy pun mengucapkan terima kasih pada semua yang datang dan sudah mengikuti pelajarannya.
Setelah itu, para siswa terutama anak-anak dan remaja berbaris ke belakang untuk menyalami Nindy yang duduk di tepi panggung sebagai rasa terima kasih mereka. Sepertinya tepat apa yang dikatakan Dyah, para siswa bukan hanya belajar menari tapi juga budaya Indonesia termasuk budaya menghormati mereka yang lebih tua atau juga para guru atau pengajar.
"Kalau di Museum Nasional usia siswa mulai dari 3 tahun sampai sekitar 50 tahun, tapi paling banyak anak SD, SMP dan SMA. Di sini meeka bukan hanya bisa belajar menari tapi hal-hal lainnya seperti budaya dan budi pekerti," terang Dyah.
Sebelum membubarkan diri, mereka sempat berfoto bersama sambil merekam video ucapan khusus untuk sebuah acara. Beberapa siswa ternyata akan tampil di sebuah acara menyambut Imlek di bulan depan.
Saya melihat ke luar museum, cuaca sebenarnya kurang bersahabat, tapi saya jadi tersenyum karena ternyata tidak mempengaruhi minat dan antusiasme para siswa untuk datang dan belajar tari tradisional di Museum Nasional.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
"ada" - Google Berita
January 12, 2020 at 10:02AM
https://ift.tt/384ftXr
Cerita Akhir Pekan: Ada Senyuman Saat Belajar Tari Tradisonal di Museum Nasional - Liputan6.com
"ada" - Google Berita
https://ift.tt/2LMx7oW
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Cerita Akhir Pekan: Ada Senyuman Saat Belajar Tari Tradisonal di Museum Nasional - Liputan6.com"
Post a Comment