Fathorrahman Ghufron
Dosen Sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga dan Wakil Katib Syuriyah PWNU Yogyakarta
Memasuki pengujung 2019 ada sebuah repertoire inklusivisme dan pluralisme yang terbentang di dua peristiwa yang monumental. Pertama, dalam perayaan haul satu dekade meninggalnya Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di Ciganjur disajikan sebuah penampilan paduan suara dari Gereja Santo Petrus Paulus Temanggung. Kedua, dalam perayaan misa Natal di Gereja Santo Vincentius, Batu, Malang, disajikan penampilan tarian sufi oleh komunitas Gubuk Sufi pimpinan Gus Muham. Bahkan sekelompok anak muda muslim menabuh rebana untuk mengiringi tarian sufi agar lebih ritmis dan dinamis.
Dua peristiwa tersebut mendedahkan sebuah nuansa cross-cutting affiliation sekaligus berupaya menurunkan egoisme doktrinal dalam batas ikut menyemarakkan sebuah peringatan kematian Gus Dur dan kelahiran Isa al Masih. Dalam konteks keterlibatan tersebut, mereka sekadar membangun saling empati dengan cara berbagi kebahagiaan atas nama manusia dan sesama bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi semangat keharmonisan dalam keragaman. Merujuk pada pandangan Ali bin Abi Thalib, "Dia yang bukan saudaramu dalam iman, saudaramu dalam kemanusiaan."
Bagi seorang pemeluk agama yang selalu berupaya mengamalkan ajaran agama dengan tulus tanpa dilandasi oleh syak wasangka, apalagi mental terancam, tentu akan melapisi penghayatan beragamanya dengan cinta. Sebab, salah satu puncak tertinggi dalam ajaran agama adalah cinta. Dalam agama cinta, merujuk pada pandangan Haidar Bagir dalam buku Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan (2013), setiap pemeluknya tidak mengedepankan warna, tidak membentangkan sekat, maupun mengedepankan klaim kebenaran yang disertai menyalahkan pihak lain. Namun, dalam agama cinta, hal yang dikedepankan adalah spirit keharmonisan, kedamaian, dan kemanusiaan.
Dengan demikian, ketika ada sekelompok orang yang berbeda agama berpartisipasi dalam sebuah peringatan haul maupun perayaan peribadatan dengan maksud berbagi kebahagiaan dan ingin meyakinkan pihak yang berbeda keyakinan bahwa jalan menuju Tuhan bisa bergandengan dengan batas kewajaran yang diyakini masing-masing, maka di situlah sesungguhnya salah satu tujuan dan maksud beragama (maqashid at tadayyun) yang perlu dilakukan. Sebab, ketika ingin mengenal Tuhan (khaliq) harus dilandasi dengan akhlak agar bisa membangun tali kasih sayang dengan semua ciptaan-Nya (makhluk).
Setidaknya, dengan cara menubuhkan dimensi cinta dalam praktik keberagamaan, berbagai aturan dan hukum yang melekat dalam tata cara beragama, baik dalam hal ritual peribadatan maupun hubungan muamalah, tidak menjadi "jebakan spiritualisme semu" yang kadang menjadi pemisah kerukunan antar-sesama makhluk. Sebab, banyak pemeluk agama, yang karena ingin meninggikan suhu keberagamaannya atau kesalehan personalnya, sering kali membuat batasan sosiologis dengan cara tidak mau mengenali dan bahkan mencaci sesama makhluk karena berbeda keyakinan maupun aliran.
Dalam kaitan ini, pendekatan cinta dan saling menghargai yang sejak dulu menjadi pelapis utama dalam praktik keberagamaan masyarakat Indonesia terbukti menjadi ketahanan sosial yang mampu merekatkan hubungan antar-kelompok meski berbeda keyakinan. Bahkan, dalam konteks tertentu, ada sekelompok masyarakat yang melakukan inkulturasi dan sinkretisasi keyakinan dengan cara meleburkan ajaran agama dengan kearifan lokal. Buku Simuh tentang Sufisme Jawa dan buku Asep Salahudin tentang Sufisme Sunda menjadi jejak bibliografis yang menguraikan dinamika inkulturasi dan sinkretisasi di masyarakat Indonesia dengan kulturnya masing-masing.
Secara esensial, fenomena inkulturasi maupun sinkretisasi itu sebenarnya berupaya menginternalisasi ajaran agama secara kultural untuk membentuk pribadi yang luhur melalui jalan cinta dan saling menghargai. Dalam dimensi ini, setiap pemeluk tidak mempertentangkan aturan keberagamaan dengan aspek cinta dan saling menghargai. Namun keduanya digunakan sebagai dua kepak sayap yang saling mendukung keimanan plus keihsanan kepada Tuhan dan manusia. Maka, diksi "bagimu agamamu, bagiku kamu saudaraku" merupakan sebentuk akhlak keberagamaan yang harus dirawat dan dijaga agar melahirkan ko-eksistensi demi mencapai kedamaian dalam keragaman.
Apa yang dilakukan dua komunitas berbeda agama dalam dua peristiwa monumental (haul Gus Dur dan misa Natal) sesungguhnya ingin melakoni salah satu inti dari keimanan, yaitu persaudaraan. Kehadiran pemeluk beda agama akan menyampaikan pesan kepada kita semua untuk bisa menjalankan peringatan haul dan peribadatan dengan nyaman dan aman.
Ketika sikap luhur semacam ini ditunjukkan oleh antar-umat beragama, sesungguhnya dimensi keimanan yang dilakoni, merujuk pada pandangan Nurcholis Madjid dalam Islam Doktrin Peradaban, tak sekadar menubuhkan sikap percaya kepada keberadaan Tuhan, tapi juga ingin membawa rasa aman, sehingga membuat orang lain mempunyai amanat dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.
Semoga kita bisa melandasi spirit keberagamaan dengan risalah cinta yang luhur agar kehidupan berbangsa kita yang penuh dengan perbedaan ini selalu menyatu dalam spirit kemanusiaan, kedamaian, keamanan, dan saling mengasihi.
"ada" - Google Berita
January 29, 2020 at 07:00AM
https://ift.tt/2S09RXt
Di Atas Agama Ada Cinta - Tempo
"ada" - Google Berita
https://ift.tt/2LMx7oW
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Di Atas Agama Ada Cinta - Tempo"
Post a Comment