
Menekuni dunia migas sudah menjadi gairah (passion) Nanang Abdul Manaf sejak muda. Namun, ia tidak pernah menyangka pengalamannya selama bekerja di Pertamina demikian beragam, bahkan tak jarang menegangkan dan tak semua orang bisa mengalaminya.
Salah satunya adalah ketika orang nomor satu di PT Pertamina EP itu terjebak di daerah konflik Libya, menyusul jatuhnya kekuasaan Moammar Khadafi akibat kudeta berdarah pada Oktober 2011.
Saat perang meletus, Nanang Abdul Manaf sedang bertugas di negeri kaya minyak itu. Bersama ratusan ribu orang lainnya, Nanang terjebak di Bandara Tripoli selama 40 jam. Syukurlah, ia akhirnya berhasil dievakuasi, meski dengan susah payah.
Pria kelahiran Bandung, 6 Februari 1964, ini selalu percaya bahwa hal-hal yang semula dianggap tidak mungkin bisa menjadi mungkin, asalkan disertai kerja keras. “Yang terpenting lagi adalah eksekusi. Jangan berharap hasil kalau tidak ada eksekusi,” ujar dia.
Masih tentang hal-hal yang tidak mungkin menjadi mungkin, Nanang juga yakin ia bersama segenap karyawan bisa mewujudkan obsesinya membawa anak perusahaan PT Pertamina (Persero) itu menjadi produsen migas terbesar di Tanah Air.
“Itu butuh effort luar biasa. Tapi bukan sesuatu yang tidak mungkin,” tutur Nanang, yang merintis karier dari nol di Pertamina.
Nanang Abdul Manaf punya definisi sendiri tentang kesuksesan. Dalam definisinya, seseorang atau sebuah perusahaan bisa dikategorikan sukses jika telah berhasil memberikan kontribusi yang maksimal kepada semua pihak.
“Misalnya Pertamina EP dianggap sukses jika target internalnya tercapai, kemudian dinilai masyarakat dan stakeholder sebagai perusahan yang memberi kontribusi. Kalau hanya target finansial, tapi masyarakat di sekitarnya memusuhi, tidak bisa dibilang sukses,” tegas dia.
Berikut penuturan lengkap Nanang Abdul Manaf kepada wartawati Investor Daily Euis Rita Hartati di Jakarta, baru-baru ini:
Bagaimana perjalanan karier Anda sampai akhirnya memimpin Pertamina EP?
Saya bergabung dengan Pertamina pada pertengahan 1991. Saya pertama kali ditempatkan di Unit Eksplorasi dan Produksi (EP) Sumbagsel. Saya di bagian eksplorasi, memulai karier sebagai junior geologist.
Pertama kali di lapangan, saya ditugaskan di Jambi. Infrastruktur Jambi waktu itu belum bagus seperti sekarang. Lebih banyak jalan off-road daripada jalan aspalnya. Tapi karena background saya geologis, saya menikmatinya,
Kemudian saya dapat special job untuk menangani project panas bumi di Ulu Belu, Lampung. Saya dapatkan special task force, mulai dari membuka lahan, menyiapkan lokasi, proses pengadaan rig, sampai eksplorasi panas bumi.
Saya merasa punya pengalaman yang berbeda, saya jadi tahu panas bumi, karena sebelumnya saya punya pengalaman eksplorasi di migas. Jadi, kalau bicara tentang panas bumi dan sebagainya, saya nyambung karena pernah di sana, walaupun tidak lama.
Selanjutnya saya dipindahkan ke Jakarta. Saya sebetulnya masuk ke dinas teknologi. Dinas ini cikal bakal upstream technology center (UTC). Tapi saya tipe orang yang tidak suka duduk di belakang meja. Makanya hanya beberapa bulan di situ. Saya pun mencari tantangan, akhirnya diberi kesempatan. Saya diminta membantu kegiatan eksplorasi untuk Sumatra.
Kenapa Anda lebih suka kegiatan operasi?
Karena di bagian operasi tidak hanya menangani teknikal, tapi juga me-manage people. Kompleksitasnya lebih penuh tantangan dibandingkan kalau saya hanya duduk di belakang meja. Menurut saya, kesempatan-kesempatan itu memang harus dicari. Kalau diam, saya tidak akan ke mana-mana.
Alhamdulillah, saat menangani operasi di Sumatra, saya menemukan banyak discovery (penemuan cadangan). Boleh dibilang, kalau di bagian operasi itu kelihatan hasilnya. Kalau ada discovery, rasanya puas dan ada kebanggaan tersendiri, karena dari situlah semua proses produksi migas dimulai.
Pengalaman paling berkesan selama Anda di lapangan?
Tentu saja banyak sekali. Misalnya saat saya bergabung dengan Joint Operation Body (JOB) Sante Fe di Blok Salawati, Papua. Selama tiga tahun, saya pulang-pergi (PP) Jakarta-Papua, dengan waktu tempuh 10-12 jam.
Saya juga pernah bertugas sebagai project leader untuk pengeboran deep water di Matindok. Saat itu, kami ngebor lima sumur laut dalam. Itu adalah pertama kami ngebor di eksplorasi laut dalam, sumur offshore, dan tidak berhasil.
Artinya dari ngebor lima, baru tiga sudah dry semua. Kami berhenti, selesai. Saya pun harus menjelaskan kenapa tidak berhasil. Tapi itu biasa, pengalaman juga. Tidak banyak orang yang punya pengalaman ditugaskan untuk pengeboran di offshore.
Tidak melulu di lapangan, saya juga pernah diminta korporat untuk menangani transformasi perusahaan. Saya yang biasanya menangani operasi, gelogi, dan lainnya, tiba-tiba harus bergabung dengan tim McKinsey untuk transformasi Pertamina pada 2006.
Saya ditunjuk sebagai wakil dari hulu (upstream). Waktu itu pertama sekali membuat breakthrough project. Di sana, saya betul-betul mendapatkan pengalaman, ilmu, kemudian pengetahuan yang totally berbeda.
Ada pengalaman lain yang tidak kalah menarik, yakni saat saya ditugaskan ke Libya untuk menjalankan kegiatan eksplorasi sampai mendapatkan cadangan.
Situasinya sangat menantang. Sedang asyik melakukan kegiatan di sana, tiba-tiba terjadi eskalasi politik dalam waktu yang sangat cepat. Khadafi (pemimpin Libya, Moammar Khadafi) jatuh. Benar-benar tak terduga.
Padahal saat itu Libya adalah negara yang sangat kaya. Produksi minyaknya 1,7 juta barel per hari (bph), sedangkan penduduknya hanya tujuh juta orang. Produksi gasnya langsung diekspor ke Eropa, sehingga bisa dibilang banyak uang tapi peduduknya sedikit.
Ketika perang mulai pecah, saya waktu itu diminta siap-siap pulang ke Indonesia. Akhirnya saya dievakuasi di Tunis dengan susah payah. Saya terjebak selama 40 jam di airport Tripoli. Tidak ada makanan dan lainnya. Bayangkan, ratusan ribu orang seketika ingin keluar dari negara itu.
Itu pengalaman unik yang tidak semua orang bisa beruntung mengalaminya seperti saya. Ketika saya pulang, ternyata banyak penyambutan. Saya juga tidak menyangka, ada Bu Karen (Karen Agustiawan, Dirut Pertamina saat itu), wartawan, dan lainnya.
Anda tidak tergoda untuk bergabung dengan perusahaan migas asing?
Terus terang tergoda. Saya juga sempat melamar ke mana-mana. Kebetulan yang mengundang pertama adalah Pertamina, saya tes, periodenya Maret sampai September. Waktu itu saya sempat juga dipanggil untuk tes di Asamera (Conoco), Gulf, tapi yang akhirnya betul-betul confirm adalah Pertamina.
Prestasi selama Anda di Pertamina EP?
Nature saya di eksplorasi. Maka saat punya kesempatan di Pertamina EP, saya tunjukkan performa saya. Saya pernah melakukan hal-hal bagus di sana. Saya bisa ngebor sampai 29 sumur setahun untuk eksplorasi saja. Sekarang paling-paling 10-12 sumur.
Harga minyak pun dulu gila-gilaan. Jadi, kami dipacu. EP juga produksinya bagus, harganya bagus, sehingga 80% keuntungan korporat pada 2011-2012 dari EP.
Lalu saya sempat diminta menangani kegiatan di Malaysia, hingga akhirnya kembali ke Pertamina EP dan menjadi Direktur Eksplorasi. Di sini tantangannya lain lagi. Saat itu produksi turun dan harga minyak sedang tajam-tajamnya turun. Produksi turun ke titik nadir 77 ribu bopd pada 2017.
Saya menjadi Presdir pada Mei 2017. Saya konsolidasi, kebetulan tim direksinya baru. Kami waktu itu sepakat bagaimana caranya supaya Pertamina EP bangkit lagi. Moral pegawai kami angkat untuk bekerja lebih keras bersama-sama.
Saat itu muncul ide untuk membentuk leaders forum. Kami kumpulkan para general manager (GM) dan vice president (VP) untuk merumuskan tantangan yang kami hadapi. Ekspektasi stakeholder cukup tinggi sehingga kami harus do something yang berbeda dari sebelumnya. Apa yang harus kami improve, kami banyak evaluasi, dan membuat strategi untuk mendapatkan kepercayaan diri.
Hasilnya kelihatan. Pada 2018 kami reborn. Seperti mobil mogok, dorongnya setengah mati, tapi begitu engine-nya hidup, jalannya jadi gampang. Itu momentum yang kami dapatkan pada 2017-2018.
Masuk 2019, tantangannya tidak lebih mudah, karena target pemerintah selalu lebih tinggi dari kemampuan kami. Tapi saya selalu tekankan, yang penting kita berusaha supaya lebih baik, walau katakanlah rasanya impossible. Saya perbaiki terutama dari sisi eksekusi.
Produksi migas nasional turun terus. Tantangan ke depan seperti apa?
Ke depan, tantangan kita adalah bagaimana memenuhi kebutuhan yang dari tahun ke tahun meningkat, sementara produksi turun.
Seperti dikatakan Presiden Jokowi, current account deficit (CAD) atau neraca transaksi berjalan banyak disumbang migas, karena impor minyak mentah maupun produk minyak (bahan bakar minyak/BBM) setiap hari sangat besar, sehingga neraca perdagangan kita defisit. Ini tantangan paling besar.
Ke depan, saya yakin konsumsi BBM kita bukan makin turun, tapi meningkat. Sebab, jumlah kendaraan terus bertambah, tingkat sosial masyarakat meningkat, yang biasanya berjalan kaki ingin naik sepeda motor, yang biasa naik sepeda motor ingin naik mobil, yang punya mobil satu ingin punya dua.
Bukankan pemerintah sedang mengembangkan energi alternatif?
Energi alternatif sudah ada dari beberapa tahun lalu, tapi migas tetap yang paling ideal dari segi pengelolaan dibanding energi lain. Contohnya geothermal (panas bumi), itu energi juga. Tapi geothermal tidak bisa diperjualbelikan secara ritel. Berbeda dengan minyak yang bisa diperdagangkan langsung. Migas juga mudah dijadikan produk, misalnya petrokimia. Dari migas bisa menjadi plastik dan lainnya.
Jadi, ke depan, kebutuhan migas akan tetap tinggi, sementara kita hadapi situasi penurunan.Kenapa? Karena eksplorasinya tidak agresif.
Mungkinkah produki minyak nasional kembali seperti masa lampau, di atas 1 juta bph?
Mungkin saja. Tapi untuk dapat sekelas lapangan Banyu Urip saja yang produksinya 210 ribu bph, butuh waktu lama, dari mulai discovery sampai pengembangan dan membangun fasilitas.
Saat ini gap produksi dan konsumsi kita sekitar 700 ribu bph. Berarti kita butuh dua lapangan seperti Banyu Urip yang sekarang merupakan lapangan dengan produksi tertinggi. Itu tidak mudah.
Kita harus buat skenario lain di luar eksplorasi, misalnya melalui EOR (enhanced oil recovery) atau monetisasi lapangan yang dulu dianggap marginal.
Tapi untuk itu perlu insentif. Semua harus bergerak, tidak bisa hanya pemerintah pusat saja atau kontraktor migas saja, karena di lapangan kita berhubungan dengan pemerintah daerah. Jadi, semua harus punya spirit yang sama. Kita harus sadari bahwa kita sudah emergency.
Kondisi cadangan migas nasional saat ini bagaimana?
Cadangan dalam arti lapangan yang siap produksi itu terbatas. Tapi kalau bicara potensi atau sumber daya, masih ada. Namun harus dibuktikan dulu.
Harus ada investasi. Kita harus bisa menarik investor dari luar (asing) agar mereka mau lagi berinvestasi di sini. Seperti era 70-80-an, di mana yang datang adalah big player, seperti Mobil Oil, Esso, BP, Shell, dan Conoco. Mereka adalah perusahaan yang punya kemampuan investasi, teknologi, SDM , dan lainnya.
Kalau Pertamina sendiri nggak keluar, harus berkolaborasi. Semua negara pun sama. Amerika Serikat (AS) saja tidak hanya punya Exxon dan Chevron, ada juga perusahaan Spanyol, Repsol, atau BP, Shell. Jadi, negara maju pun butuh investor, apalagi Indonesia.
Mimpi Anda ke depan?
Kalau SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) punya target kembali ke 1 juta bph, saya sejak 2017 bicara bahwa Pertamina EP harus kembali ke 100 ribu bph.
Kalau ditanya berat, ya berat sekali. Tapi kalau kalau kita punya niat kuat dan kerja keras, berani bermimpi, tapi bukan mimpi kosong, kita turunkan satu program untuk kejar mimpi, saya masih optimistis. Kenapa? Karena kita masih punya area yang menurut saya masih potensial, seperti frontier, laut dalam.
Tapi kalau ngebor 100% dilakukan Pertamina EP, ya berat. Sebab, untuk ngebor satu lapangan butuh US$ 100-150 juta, ya habis dananya hanya untuk satu sumur saja. Ya kalau dapat, kalau nggak, habislah dana kami. Decline kita tuh mencapai 25-30% setahun. Kalau do nothing, tahun depan produksi kami terpangkas 30%.
Posisi Pertamina EP saat ini?
Kami peringkat ke-3 untuk produksi minyak, setelah Exxon dan Chevron. Kalau untuk gas setelah BP Conoco. Tapi kalau secara agregat, kami nomor satu dengan volume produksi 240 ribu bph.
Gaya kepemimpinan Anda?
Saya mengedepankan kolaborasi. Saya delegasikan ke direksi. Mereka punya tim lagi di bawahnya, begitu seterusnya sampai ke level bawah. Total karyawan 3.880 orang. Tugas saya adalah bagaimana men-develop ini supaya mereka berkinerja baik. Kinerja saya ditentukan oleh semua tim ini.
Arti sukses menurut Anda?
Bagi saya, sukses adalah jika bisa memberikan kontribusi yang maksimal. Misalnya Pertamina EP dianggap sukses kalau target internal tercapai dan oleh masyarakat serta stakeholder dinilai menjadi perusahan yang memberi kontribusi.
Kalau hanya target finansial saja yang tercapai, tapi masyarakat di sekitarnya memusuhi, tidak bisa dibilang sukses. Demikian pula saya secara pribadi. Jika saya merasa tidak bermanfaat bagi orang lain, atau keluarga, saya tidak merasa sukses.
Obsesi Anda?
Saya ingin membawa Pertamina EP menjadi juara umum di produksi. Itu butuh effort luar biasa. Tapi bukan sesuatu yang tidak mungkin.
Bagaimana Anda membagi waktu dengan keluarga?
Keluarga sangat paham tugas saya. Yang penting berkomunikasi. Anak saya tiga, sudah dewasa semua. Satu di Finlandia, satu di Surabaya, dan satu di Jakarta. Sekarang saya berdua lagi dengan istri, tapi tiap hari masih memantau mereka satu per satu. Saya memang cerewet untuk masalah ini.***
Biodata
Nama: Nanang Abdul Manaf.
Tempat/tanggal lahir: Bandung, 6 Februari 1964.
Pendidikan: S1 Teknik Geologi ITB.
Baca juga: Antara Golf, Kuliner, dan Menulis
Sumber : Investor Daily
"ada" - Google Berita
January 20, 2020 at 12:16PM
https://ift.tt/2TI4yhY
Tak Ada yang Tak Mungkin - Investor Daily
"ada" - Google Berita
https://ift.tt/2LMx7oW
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Tak Ada yang Tak Mungkin - Investor Daily"
Post a Comment