Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan selama ini perlindungan data baru berlaku bagi nasabah perbankan, asuransi, pasar modal, dan data Wajib Pajak (WP). Jadi, pelaku bisa dijerat pidana kalau ada jual beli data yang menyangkut seluruh sektor tersebut.
Untuk jual beli data perbankan, misalnya, UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengatakan bahwa bank wajib merahasiakan data nasabah. Hal itu ditegaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bahwa oknum yang melaksanakan pencurian data nasabah bisa terjerat hukuman lima tahun penjara.
"Sementara itu, sharing data selain data nasabah perbankan, asuransi, perpajakan tidak ada UU-nya. Padahal, data itu tak boleh diberikan tanpa adanya concern (perhatian) dari individu yang bersangkutan," jelas Wimboh, Senin (23/9).
Jika tak ada UU yang mengatur, maka individu yang datanya diperjualbelikan secara diam-diam tidak bisa membawa kasus tersebut ke ranah hukum. Sementara itu, aksi jual beli data yang membabi buta tentu membuat masyarakat rugi karena bisa menjadi objek penipuan atau pemerasan.Wimboh menerangkan upaya penipuan bisa dilaporkan karena melanggar pasal 378 KUHP. Hanya saja, sampai saat ini belum ada tindak pidana dari aktivitas jual-beli data tersebut.
"Tapi permasalahannya adalah kadang nasabah juga tidak sadar bahwa dirinya meneken kontrak bahwa data mereka bisa digunakan. Masyarakat juga harus hati-hati sebelum meneken kontrak perjanjian di situs misalkan seperti fintech," papar dia.
Oleh karena masih belum dipayungi regulasi, sejauh ini OJK telah meminta seluruh asosiasi fintech agar mencantumkan aktivitas jual-beli data sebagai bagian dari kode etik operasional. Jika ada perusahaan fintech yang melanggar kode etik tersebut, asosiasi akan melaporkannya ke OJK agar izin usaha fintech tersebut dicabut.
"Kode etik ini dibuat agar perusahaan fintech tidak melakukan abuse kepada konsumen. Kalau ada yang melanggar kode etik, silahkan dilaporkan ke OJK. Nanti fintech platformnya kita tutup," papar dia.
[Gambas:Video CNN]
RI Butuh Hub Data
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan Indonesia seharusnya memiliki infrastruktur berupa hub data.
Di dalam hub tersebut, pelaku usaha ekonomi digital bisa menyerahkan data-data masyarakat yang bisa dipertukarkan secara publik untuk digunakan oleh pelaku usaha lain. Sementara itu, data-data yang bersifat pribadi wajib dirahasiakan oleh masing-masing pelaku ekonomi digital.
Dengan cara ini, maka seharusnya pertukaran data tidak akan berakibat buruk bagi masyarakat dan memperkecil ruang jual beli data. Dalam hal ini, Perry mencontoh kisah sukses yang dilakukan India.
"Jadi data ini ada dua, ada yang diberikan untuk publik dan ada yang bisa disimpan oleh pelaku usaha untuk mengembangkan usahanya. Saya pikir Indonesia akan bisa belajar banyak dari India," papar dia.
(glh/lav)"ada" - Google Berita
September 23, 2019 at 01:59PM
https://ift.tt/2MfrlfY
Fintech Sebar Data Ilegal, OJK Minta Ada UU Perlindungan Data - CNN Indonesia
"ada" - Google Berita
https://ift.tt/2LMx7oW
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Fintech Sebar Data Ilegal, OJK Minta Ada UU Perlindungan Data - CNN Indonesia"
Post a Comment