"Kondisi harga kemudian stigma buruk yang dibangun Eropa itu akumulasi, dampaknya pada harga. Harga ink sangat sensitif untuk mempengaruhi aktivitas di kebun," kata Ketua Bidang Ketenagakerjaan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Sumarjono Saragih kepada CNBC Indonesia, Kamis (26/9/2019).
"Cara pertama di sektor perkebunan ketika pelemahan harga adalah mengurangi kegiatan, mengurangi perawatan, kalau tidak bisa menolong (tertangani) bahkan panen bisa dihentikan," tambahnya.
Jika kegiatan perkebunan terhenti, maka akan berdampak pada pengurangan atau pemutusan hubungan kerja (PHK). Ia mengatakan, ketersediaan data ketenagakerjaan industri sawit di Indonesia menjadi tantangan bagi pemerintah dan asosiasi Indonesia. Saat ini belum ada data terbaru untuk menjelaskan jumlah tenaga kerja di industri sawit.
"Tapi berdasarkan laporan lisan dari serikat buruh, khususnya pada akhir tahun lalu, ada banyak pengurangan kegiatan (di industri sawit). Kita bersyukur harga sedikit membaik, walau tidak signifikan, tetapi itu sudah menormalisasikan kegiatan," ujarnya.
Di tengah tekanan harga dan kampanye negatif, ia meminta semua pihak menyadari untuk tidak ramai-rami menyerang sawit tanpa melihat fakta dan dampak yang akan terjadi. Persoalannya tidak hanya pada perekonomian semata, namun juga merembet ke masalah sosial.
"17 juta rakyat (yang hidup bergantung sawit) bisa terkena dampak sosial, 2008-2012 kriminalitas di sentra-sentra sawit meningkat, kredit motor macet, motor ditarik akhirnya terjadi kriminalitas untuk mempertahankan hidup mereka," kata Sumarjono.
Ia berharap program B30 dan Biofuel 100 (B100) pemerintah dapat terealisasi untuk meningkatkan gairah industri sawit dalam negeri. Hal ini sekaligus menjadi jalan keluar untuk menghindari pemutusan hubungan kerja di industri sawit.
Sumarjono mengakui tekanan baik dari sisi harga CPO dan kampanye negatif dari Uni Eropa (UE) terhadap sawit secara tidak langsung akan merembet sektor tenaga kerja.
"Untuk membuat pekerja sawit tidak kehilangan pekerjaan industri sawit harus bertahan dengan meningkatkan harga, efisien, dan produktivitas yang standar," kata Sumarjono.
Ia berharap juga publik untuk tidak langsung menaruh stigma negatif pada sawit. Tuduhan dari UE juga, menurutnya, perlu disikapi apakah fakta atau sekadar isu.
Pada 2018, parlemen UE mengeluarkan RED II yang mengusulkan penghentian konsumsi biodiesel berbasis sawit dari Indonesia. Lalu, pada bulan lalu, UE menerapkan bea masuk untuk biodiesel berbasis dari Indonesia.
"Tuduhan Eropa, apakah itu sekadar isu atau fakta harus kita respons dengan benar sambil kita memperluas pasar. Kita tidak bisa bertahan tanpa perluasan pasar baik di dalam atau luar negeri," katanya.
"Kebijakan B30 atau biofuel 100 harus berhasil, tanpa itu industri sawit akan sangat sulit bertahan," katanya.
Program B30 akan menjadi mandatori pada awal tahun 2020. Sementara B100 ditargetkan mulai diproduksi lima tahun mendatang. Terkait jumlah PHK,Sumarjono mengaku belum ada data terkait itu, namun dari penuturan serikat buruh, penurunan kegiatan sawit sudah terjadi sejak akhir tahun lalu sampai saat ini.
(hoi/hoi)"ada" - Google Berita
September 26, 2019 at 07:12PM
https://ift.tt/2n1H2hw
Harga Fluktuatif & Kampanye Negatif, Apakah Ada PHK di Sawit? - CNBC Indonesia
"ada" - Google Berita
https://ift.tt/2LMx7oW
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Harga Fluktuatif & Kampanye Negatif, Apakah Ada PHK di Sawit? - CNBC Indonesia"
Post a Comment