Sedangkan korban yang terinfeksi Virus Corona di seluruh dunia menembus 44.138 orang. Jumlah itu, jauh melebihi wabah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada 2003 silam. SARS, penyakit pernafasan yang berasal dari Provinsi Guangdong itu menelan korban meninggal 800 orang.
Selain telah menimbulkan korban jiwa, penyebaran virus juga telah mengganggu kegiatan ekonomi. Khusus di Indonesia, kegiatan ekonomi paling terdampak terdapat di sektor pariwisata.
Di Nusa Penida, Bali, wabah tersebut telah mengakibatkan kunjungan wisatawan anjlok 100 persen. Penurunan tersebut telah membuat pemerintah ketar ketir. Kekhawatiran salah satunya pernah disampaikan oleh Menkeu Sri Mulyani. Ia khawatir dampak Virus Corona akan membuat laju ekonomi seret.
Menteri BUMN Erick Thohir bahkan khawatir masalah tersebut bisa menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke bawah level 5 persen. Maklum, virus juga telah mengganggu ekonomi China.
Penyebaran virus mematikan itu membuat aktivitas bisnis lokal seperti supermarket, restoran, dan penginapan di China menurun dalam dua bulan terakhir. Tingkat inflasi China pada Januari meroket ke level 5,4 persen, naik tinggi dibandingkan Desember 2019 yang sebesar 4,5 persen. Tingkat inflasi mencapai level tertinggi dalam delapan tahun terakhir karena masyarakat menimbun makanan akibat berkurangnya aktivitas masyarakat di luar rumah.
Tetapi, duka China adalah duka bagi dunia. Satu hal yang perlu diingat, China merupakan negara dengan ekonomi kedua terbesar di dunia. Guncangan pada ekonomi China tentunya akan berpengaruh pada ekonomi negara lain yang memiliki hubungan dagang dengan China.
[Gambas:Video CNN]
Indonesia, termasuk di dalamnya lantaran China merupakan mitra dagang terbesar bagi Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat China adalah pangsa pasar terbesar produk non migas Indonesia. Sepanjang 2019, ekspor non migas ke China mencapai US$25,85 miliar setara 16,68 persen dari total ekspor non migas.
Tak hanya tujuan ekspor, China juga menjadi negara importir terbesar bagi Indonesia. Sepanjang 2019, impor dari China sebesar US$44,58 miliar, atau 29,95 persen dari total impor. Ekonom dan kalangan pengusaha menilai pemerintah harus cakap mengambil tindakan agar kekhawatiran tersebut tak menjadi kenyataan. Meskipun, hingga saat ini Indonesia belum mengkonfirmasi temuan virus mematikan itu.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan aktivitas perdagangan itu membuat Indonesia memiliki ketergantungan dengan China.
"Kalau ada demand (permintaan) dari China bagus buat kita. Tetapi kalau (permintaan) turun kita juga akan kena dampaknya," katanya kepada CNNIndonesia.com.
Heri pun menggambarkan secara jeli dampaknya bagi ekonomi Indonesia. Perlu diketahui, Wuhan yang merupakan kota pusat penyebaran virus merupakan salah satu kota industri di China. Hampir 50 persen sumber ekonomi Wuhan didapatkan dari industri dan jasa. Saat ini, kota di Provinsi Hubei itu telah diisolasi oleh pemerintah setempat untuk mencegah penyebaran virus.Ia menuturkan dengan gangguan aktivitas industri di Wuhan, secara otomatis akan membuat permintaan bahan baku industri ikut terhambat. Dan masalah itu akan membuat Indonesia sebagai negara eksportir bahan baku terkena getahnya.
Sebab, lanjutnya, mayoritas ekspor Indonesia ke China adalah barang mineral, seperti batu bara, bijih besi, bijih nikel, tembaga, dan kimia organik. Pernyataan Heri tersebut dibenarkan oleh data Kementerian Perdagangan.
Data kementerian tersebut menyebutkan produk utama ekspor non migas Indonesia ke China meliputi batu bara muda, minyak kelapa sawit dan turunannya, batu bara, bubur kayu kimia, feronikel, batu bara bitumen, serta bijih nikel, dan konsentrat.
"Terjadi gangguan suplai dengan berhentinya produksi di Wuhan. Kondisi ini menjadikan aliran barang dari Wuhan ke seluruh China dan luar negeri terhambat, salah satunya Indonesia," paparnya.Keadaan impor tak jauh berbeda. Ia menuturkan Indonesia banyak mengimpor bahan baku dan barang modal dari China yang digunakan oleh industri makanan dan minuman dan agrikultur. Ia khawatir gangguan pasokan bahan baku dan barang modal dari China bakal menimbulkan kelangkaan sehingga memicu kenaikan naik.
"Contoh bawang putih, kalau impor bawang putih terganggu ini akan mengancam stabilitas pasokan dalam negeri dan terjadi inflasi dari sisi supply shock," jelasnya.
Hal tersebut diamini oleh kalangan pengusaha. Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani mengaku dampak negatif kemunculan Virus Corona kepada rantai pasok (supply chain) bahan baku dan barang modal sudah mulai dirasakan pelaku usaha. Ini khususnya terjadi pada industri manufaktur yang tidak memiliki kecukupan pasokan bahan baku.
Ketersediaan bahan baku tersebut kata Shinta, mulai menipis karena hanya terbatas untuk menutupi kebutuhan selama libur Tahun Baru Imlek."Industri nasional yang perlu bahan baku seperti besi baja, produk kimia, bahan baku tekstil, dan lain-lain sudah pasti terasa, karena stok sudah perlu ditambah kalau mau produksi tetap lancar," ungkapnya.
Pemerintah Harus Gesit
Atas kondisi itu, pemerintah dinilai perlu mengambil langkah ekstra agar ekonomi Indonesia tidak terinfeksi Virus Corona. Mengingat, virus mematikan itu masih memakan korban.
Langkah ekstra berarti kebijakan yang dapat diimplementasikan dalam jangka pendek hingga menengah.
"Akselerasi sulit kalau bisnis as usual, pemerintah harus gesit," ujar Heri.
Presiden Joko Widodo memang telah menaruh perhatian intensif pada dampak Virus Corona. Kepala Negara memerintahkan seluruh menteri kabinet kerja merealisasikan belanja sebesar-besarnya pada awal tahun. Selain itu, Jokowi juga memerintahkan agar dana desa bisa segera ditransfer ke daerah. Dengan demikian, daya beli masyarakat terjaga dan berpengaruh positif terhadap ekonomi.Heri menilai langkah Jokowi mendorong belanja pemerintah itu sudah cukup. Meskipun demikian, langkah tersebut tak banyak membantu pada perekonomian.
Pasalnya, porsi belanja K/L pada Produk Domestik Bruto (PDB) hanya 8 persen. Sumbangan paling besar berasal dari konsumsi rumah tangga yakni 65 persen dan investasi 33 persen.
Karenanya, ia menilai pemerintah juga perlu menjaga stabilitas harga terutama harga bahan pokok. Dengan demikian, konsumsi rumah tangga tetap stabil di tengah ancaman Virus Corona. Ia juga menyarankan pemerintah mempertahankan tarif kebutuhan sehari-hari seperti tarif listrik, air, dan gas elpiji.
"Situasi sekarang berbeda, ada sesuatu yang mengancam. Kalau barang-barang administered price (harga yang diatur pemerintah) diubah, tentu akan ganggu kemampuan beli masyarakat. Jadi stabilitas harga harus dijaga betul," paparnya.Dalam kesempatan berbeda, Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso menambahkan pemerintah juga mulai mendorong alternatif pangsa pasar non tradisional. Harapannya, mampu mengurangi dampak pada ekspor maupun impor dari China.
"Kemudian kami jaga pasokan impor bahan baku industri, jadi teman-teman dari Kemenperin dan Kemendag pasokan industri tetap kami kawal dan tetap jalan. Sementara ini, masih jalan dari China, tetapi kami antsipasi kalau ada perubahan lebih jauh," tutur Susiwijono.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi menilai kebijakan diversifikasi pasar tersebut sudah tepat. Namun, butuh percepatan dalam merealisasikan pasar non tradisional salah satunya dengan merampungkan perjanjian dagang. Menurut dia, salah satu kawasan yang berpotensi menjadi pasar baru produk Indonesia adalah Afrika.
"Sekali lagi terdengar klasik tapi konkret, adalah menambah pasar non tradisional di luar China," katanya.Fithra beralasan produk CPO Indonesia dapat diterima dengan baik di Afrika. Selain itu, Indonesia memiliki kedekatan historis dengan Afrika sehingga cukup membantu pembukaan pasar di sana.
"Salah satu kekurangannya adalah belum cukup intensif, jadi ongkos logistik mahal. Tetapi kalau sudah intensif saya rasa akan lebih ekonomis," ujarnya.
Sementara Shinta menyatakan pemerintah harus tetap menjaga kelancaran arus perdagangan, baik dengan China maupun negara lain di tengah ancaman Virus Corona. Ia meminta pemerintah memastikan pasokan barang kebutuhan industri tetap berjalan dan bebas dari paparan virus.
"Akan lebih baik kalau pemerintah melakukan pengujian berkala terkait ada tidaknya Virus Corona aktif pada produk-produk impor dari negara lain agar pasar domestik bisa tenang dan beraktivitas seperti biasa," pintanya.Terkait substitusi impor dari China, ia menyatakan bahwa produk-produk buatan Negeri Tirai Bambu itu sulit untuk digantikan. Sebab, produk China memiliki daya saing dari sisi harga yang lebih terjangkau dan volume barang besar. Namun demikian, peluang substitusi dapat diwujudkan asal Indonesia mampu memperbaiki daya saing dan produktivitas produk dalam negeri.
"Jadi belum tentu di level nasional atau negara lain bisa memberikan suplai produk yang sama dengan volume yang sama besar, atau harga yang sama kompetitifnya dengan China," ujarnya.
(agt)
"ada" - Google Berita
February 14, 2020 at 04:00PM
https://ift.tt/2Sr1JRq
Belum Ada Langkah Amankan Ekonomi dari Infeksi Virus Corona - CNN Indonesia
"ada" - Google Berita
https://ift.tt/2LMx7oW
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Belum Ada Langkah Amankan Ekonomi dari Infeksi Virus Corona - CNN Indonesia"
Post a Comment